Makalah

Rabu, 17 April 2013

RELEVANSI STRUKTUR ILMU AL-GHAZALI DENGAN KONSEP POHON ILMU UIN MALIKI MALANG



BAB I
PENDAHULUAN
  A.    Latar Belakang
Pada abad 10-an, telah lahir sosok intelek yang terkenal di penjuru dunia, ialah Imam al-Ghozali, yang telah mewarnai dunia dengan pemikiran-pemikirannya yang inspiratif dan mengguncang dunia. Memiliki banyak pengetahuan sehingga ia dapat menghasilkan beberapa karya yang telah banyak dikaji masyarakat hingga pada saat ini.
Diantara buah tangan al-Ghazali tersebut adalah buku  Ihya Ulumuddin, salah satu karya besar dari beliau dan salah satu karya besar dalam perpustakaan Islam. Meskipun ada berpuluh lagi karangan beliau yang lain dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan Islam, namun yang menjadi intisari dari seluruh karangan-karangan beliau itu adalah buku Ihya Ulumuddin.[1]
Ihya Ulumuddin berbicara tentang banyak hal, diantaranya adalah pembahasan tentang ilmu pada jilid pertama. Al-Ghazali telah membahas konsep strukur keilmuan dan membaginya dari berbagai macam aspek, yang secara garis besar dilihat dari hukum mempelajarinya, yaitu fardh ‘ain dan fardh kifayah.
Sejalan dengan itu, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, salah satu kampus ternama dan merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang memiliki obsesi menjadi the real Islamic university dan the center of Islamic civilization di Indonesia. Telah mengembangkan struktur keilmuannya yang terintegrasi antara agama dan ilmu umum  untuk menghasilkan lulusan mahasiswa yang dipersonifikasikan sebagai ulama yang intelek professional dan intelek professional yang ulama . Hal  itu tergambarkan pada konsep pohon ilmu yang memiliki arti tersendiri.
Pada pohon ilmu tersebut, ilmu-ilmu yang terdapat di dalamnya ada yang bersifat fardh ‘ain dan ada yang bersifat fardh kifayah. Mulai dari akar, batang, dahan, ranting dan daun-daunnya.
Berdasarkan hal itu, maka di dalam malakah ini, penulis berusaha menulis terkait dengan relevansi struktur keilmuan perspektif al-Ghazali dengan konsep pohon ilmu yang dikembangkan di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
B.     Rumusan Masalah
1.      Siapakah Imam al-Ghazali?
2.      Bagaimanakah struktur keilmuan menurut  al-Ghazali?
3.      Bagaimanakah konsep pohon ilmu di UIN Maliki Malang?
4.      Bagaimanakah relevansi struktur keilmuan al-Ghazali dengan konsep pohon ilmu UIN Maliki Malang?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui biografi Imam al-Ghazali.
2.      Mengetahui struktur keilmuan menurut  al-Ghazali.
3.      Mengetahui konsep pohon ilmu di UIN Maliki Malang.
4.      Mengetahui relevansi struktur keilmuan al-Ghazali dengan konsep pohon ilmu UIN Maliki Malang.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Al-Ghazali
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibnu Ahmad al-Ghazali Al-Thusi. Ia dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Ghazal, Thus, provinsi Khurasan, Republik Islam Iran. Dengan demikian, ia adalah keturunan Persia asli. Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karenanya ia (orang tuanya) hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia juga tekenal pencinta ilmu dan selalu berdo’a agar anaknya kelak menjadi seorang ulama. Amat disayangkan ajalnya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyaksikan keberhasilan anakanya sesuai dengan do’anya. Sebelum ia meninggal ia masih sempat menitipkan al-Ghazali bersama saudanya Ahmad, kepada seorang sufi, sahabatnya untuk dididik dan dibimbingnya dengan baik.[2]
 Al-Ghazali memulai pendidikannya di tempat kelahirannya Tus, dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya, ia pergi ke Nishafur dan Khurasan, dua kota yeng terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam saat itu. Di kota Nishafur inilah al-Ghazali berguru kepada Imam Al-Haramain Abi Al-Ma’ali Al-Juwainy, seorang ulama yang bermadzab Syafi’i yang menjadi guru besar di Nishafur.[3]
Diantara mata pelajaran yang dipelajari al-Ghazali di kota tersebut adalah teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya inilah yang kemudian mempengaruhi sikap dan pandangan ilmianya di kemudian hari. Hal ini antara lain terlihat dari karya tulisannya yang dibuat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dalam ilmu kalam, al-Ghazali misalnya menulis buku berjudul Ghayah al-Maram fi ‘Ilm al-Kalam “Tujuan Mulia dari Ilmu Kalam”, dalam bidang tasawuf menulis buku Ihya Ulum al-Din “Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama”, dan dalam ilmu hukum Islam ia menulis al-Mustasyfa “Yang menyembuhkan”, dalam filsafat ia menulis Maqashid al-Falasifah “ Tujuan dari Filsafat” dan Tahafut al-Falasifah “Kerancuan Filsafat”.[4]
Al-Ghazali wafat pada 14 Jumadil Akhir 505 H, bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1111 M. ia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam usia 55 tahun. Jasadnya dikebumikan di sebelah timur benteng dekat Thabaran berdampingan dengan makam penyair yang terkenal Al-Firdausy.[5] Sebelum meninggal al-Ghazali pernah mengucapkan kata-kata yang diucapka pula oleh Francis Bacon seorang filosuf Inggris, yaitu: “ Aku letakkan ahwahku dihadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir umat manusia di masa depan”.[6]
Karena begitu banyak keahlian yang dikuasai oleh al-Ghazali, wajar bila orang-orang sesudahnya memberi berbagai gelar penghormatan kepadanya, antara lain Hujjatul Islam “Pembela Islam”, Zainuddin “Hiasan Agama”, Bahrun Mughriq “Samudra yang Menenggelamkan”, Syaikhul Shuffiyyin “Guru Besar para Sufi”, Imamul Murobbin “Pemimpin para Pendidik”, dan sebaginya.[7]
B.     Struktur Ilmu Menurut Al-Ghazali
Terkait dengan konsep struktur ilmu menurut  al-Ghazali, ilmu terbagi menjadi dua, yaitu: ilmu syari’ah dan ilmu bukan syari’ah. Adapun penjelasannya adalah sebagaimana berikut:
1.    Ilmu Syari’ah
Menurut al-Ghazali dalam Ihya ulumuddin, yang dimaksud dengan ilmu syari’ah adalah yang diperoleh dari Nabi-nabi as. Dan tidak ditunjjukan oleh akal manusia kepadanya misalnya ilmu berhitung atau percobaan misalnya ilmu kedokteran atau pendengaran seumpama ilmu bahasa.[8]
Kemudian al-Ghazali membagi ilmu syari’ah menjadi dua bagian, yaitu ilmu syari’ah yang bersifat fardh ‘ain dan ilmu syari’ah yang bersifat fardh kifayah. Adapun penjelasannya adalah sebagaimana berikut:
1)      Fardh ‘ain
Maksud dari ilmu pengetahuan yang bersifat fardh ‘ain yaitu ilmu tentang cara amal perbuatan yang wajib. [9]Ilmu pengetahuan yang tergolong fardhu ain adalah sebagaimana yang telah dikatan oleh Abu Tholib Al-Makki, bahwa ilmu yang diwajibkan ialah pengetahuan yang terkandung dalam hadis nabi yang menerangkan sendi-sendi islam,[10] yaitu sabda Nabi SAW:
بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا لله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة والحج
 وصوم رمضان . ( رواه البخاري)
Artinya: Islam didirikan atas lima dasar: bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, melaksanakan sholat, berzakat, haji (bagi yang mampu), dan puasa Ramadhan. (H.R.Imam Bukhori).[11]
Menurut al-Ghazali karena yang wajib adalah lima itu, maka wajib pula mengetahui cara mengerjakannya dan betapa kewajibannya. Dan yang sebaiknya diyakini oleh yang memperolehnya dan tidak diragukan lagi, sebagaimana yang disebutkan dalam pendaluan ihya ulumuddin bahwa ilmu ini terbagi menjadi dua, yaitu ilmu mu’amalah dan ilmu mukasyafah, namun yang dimaksud disini adalah ilmu mu’amalah.[12]
Ilmu muamalah yang di tugaskan kepada hamba Allah, yang berakal dan dewasa, untuk mengamalkannya, ialah tiga: aqidah, berbuat dan tidak berbuat. Orang yang berakal sehat, apabilah sudah sampai umur (baligh), baik dengan bermimpi (ihtilam) atau dengan perkiraan umur, pada pagi hari misalnya, maka yang pertama kali wajib atas dirinya adalah mempelajari dua kalimat syahadah serta memahami artinya. Yaitu: “Laa ilaaha illallah, Muhammadur rasuulullah”.  Dan tidak diwajibkan kepadanya, untuk berhasil menyingkapkan bagi dirinya, dengan pemikiran, pembahasan dan penguraian dalil-dalil. Tetapi cukuplah sekedar membenarkan dan meyakini benar-benar tanpa keraguan dan kebimbangan.[13]
Adapun kewajiban selain itu, yakni dalam berbuat, atau tidak berbuat, atau pada aqidah. Dan tidak yang demikian perlu (dlaruri) pada tiap-tiap orang, bahkan mungkin terlepas daripadanya.[14]
Pertama terkait dengan berbuat, al-Ghazali menggambarkan, jika seseorang hidup terus dari pagi itu sampai waktu dhuhur. Maka dengan masukknya waktu dhuhur, datanglah kewajiban baru baginya, yaitu mempelajari cara bersuci dan bershalat. Kalau dia sehat dan terus bertahan sampai waktu tergelincir matahari, yang tidak mungkin ia menyempurnakan pelajaran dan mengajarkan Dhuhur dalam waktunya, tetapi waktu akan habis jika ia terus belajar, maka tepatlah kalau dikatakan bahwa pada dhahirnya dia terus hidup. Dari situ, maka ia wajib mendahulukan belajar atas masuknya waktu. Dan boleh juga dikatakan bahwa wajib adalah ilmu itu menjadi syarat untuk amal, sesudah wajib amal itu. Maka belajar itu belum lagi wajib sebelum tergelincinya matahari. Demikian juga dengan sholat-sholat yang lain serta kewajiban yang lain.[15]
Kedua terkait dengan tidak berbuat, maka wajib mempelajari ilmu itu menurut perkembangan keadaan. Dan yang demikian itu berbeda, menurut keadaan orang. Karena tidak wajib bagi orang bisu, mempelajari kata-kata yang diharamkan. Tidak wajib juga bagi orang buta mempelajari hal-hal yang haram dipandang. Dan tidak wajib juga bagi orang desa (badui) mempelajari tempat-tempat duduk yang diharamkan. Maka yang demikian itu juga wajib menurut yang dikehendaki oleh keadaan. Apa apa yang diketahuinya bahwa ia terlepas daripadanya, maka tidak wajib mempelajarinya. Dan apa yang tidak terlepas daripadanya, maka wajib diberitahukan kepadanya. Misalnya, ketika ia masuk Islam, ia memakai kain sutra, suka merampok atau suka melihat yang bukan mahramnya, maka wajib diberitahukan kepadanya yang demikian itu.[16]
Ketiga terkait dengan aqidah dan amal perbuatan hati, maka wajib mengetahuinya menurut bisikan hati. Kalau timbul keraguan mengenai pengertian yang terkandung dalam dua kalimah syahadah, maka wajib mempelajari apa yang bisa menghilangkan keraguan itu.       
2)      Fardh kifayah
Fardh kifayah dari ilmu syari’ah terbagi menjadi empat, yaitu: Pokok (ushul), cabang (furu’), mukaddimah (ilmu pengantar), dan penyempurna.
Pertama: Pokok (ushul), yaitu ada empat, Kitabullah ‘Azza wa Jalla, Sunnah Rasul SAW, Ijma’ Umat dan peninggalan-peninggalan sahabat (atsar).[17]
Kedua: Cabang (furu’), yaitu apa yang dipahamkan dari poko-pokok (ushul diatas). Tidak menurut yang dikehendaki oleh kata-katanya, tetapi menurut pengertian yang dapat dicapai oleh akal pikiran. Ilmu furu’ ini terbagi menjadi dua, yaitu: 1) menyangkut dengan kepentingan duniawi. Dan termuat dalam kitab-kitab fiqih. Yang bertanggung jawab terhadapnya ialah para ulama’ fiqih. Dan mereka itu adalah ulama dunia, 2) menyangkut dengan kepentingan akhirat. Yaitu ilmu hal keadaan hati, budi pekerti terpuji dan tercela, hal-hal yang disenangi dan dibenci oleh Allah.[18]
Ketiga: Mukaddimah (ilmu pengantar), yaitu ilmu yang merupakan alat, seperti ilmu bahasa dan tata bahasa. Keduanya adalah merupakan alat untuk menegtahui isi kitabullah dan sunnah Rasul saw.
Keempat: Penyempurna, yaitu: mengenai ilmu al-Qur’an. Dan terbagi kepada yang berhubungan dengan kata-katanya seperti mempelajari qiro’ah (cara membaca), dan bunyi hurufnya. Dan yang berhubungan dengan pengertiannya, seperti tafsir, karena pengertia itu berpegang pula pada naqal atau (keadaan di sekitar ayat itu, baik sebab turunnya dan suasananya dalam sejarah tiap-tiap ayat suci). Karena semata-mata bahasa saja, tidak dapat berdiri sendiri. Dan yang berhubungan dengan yang lainnya dalam ruang lingkup ilmu al-Qur’an. Ilmu ini juga melengkapi sunnah Nabi.[19]

   
2.      Ilmu Bukan Syari’ah
Ilmu-ilmu yang bukan syari’ah terbagi menjadi: ilmu yang terpuji, ilmu yang tercela, ilmu yang dibolehkan. Ilmu yang terpuji ialah yang ada hubungannya dengan kepentingan urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Dan itu terbagi juga menjadi fardh kifayah dan ilmu utama yang tidak fardhu.[20]
1)      Fardh Kifayah
Yaitu setiap ilmu yang tidak dapat dikesampinhkan dalam menegakkan urusan duniawi, jika dari suatu penduduk tidak ada yang menegakkannya, maka berdosa semua, kecuali jika ada yang menegakkannya, maka gugur bagi yang lain. Misalnya adalah:
a.       Ilmu kedokteran, karena pentingnya dalam pemeliharaan tubuh manusia.
b.      Ilmu berhitung, karena pentingnya dalam masyarakat jual beli, pembagian harta wasiat, pusaka dan lain-lain.
c.       Pokok-pokok industry, seperti pertanian, pertenunan dan siasat, bahkan juga pembekaman dan penjahitan.
2)      Ilmu Utama yang Tidak Fardh Kifayah
Yaitu ilmu yang mendalami tentang hal-hal yang halus bagi ilmu berhitung, ilmu kedokteran dan lain-lainnya, termasuk yang tidak diperlukan begitu penting, tetapi berfaidah menambahkan kekuatan pada kadar yang diperluka.[21]
3)      Ilmu yang Tercela , Seperti :ilmu sihir, mantra-mantra, ilmu tenung, dan ilmu balik mata.[22]
4)      Ilmu yang dibolehkan, Seperti pantun-pantun yang sopan, berita-berita sejaran dan lain sebagainya.[23]
C.    Konsep Pohon Ilmu UIN Maliki Malang
Ilmu yang dikembangkan di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang bersumber dari al-Qur’an dan hadis nabi. Petunjuk al-Qur’an dan hadis yang masih bersifat konseptual selanjutnya dikembangkan lewat kegiatan eksperimen, observasi dan pendekatan ilmiah lainnya. Ilmu pengetahuan yang berbasis pada al-Qur’an dan al-Sunnah itulah yang dikembangkan oleh UIN Maliki Malang. Jika menggunakan bahasa kontemporer UIN Maliki Malang berusaha menggabungkan ilmu agama dan ilmu umum dalam satu kesatuan. Sesungguhnya UIN Malang tidak sepaham dengan dengan siapa saja yang mengkategorikan ilmu agama dan ilmu umum. Sebab kategorisasi itu terasa janggal atau rancu. Istilah umum adalah lawan kata dari khusus. Sedangkan agama, khusnya islam tidak tepat dikategorikan sebagai ajaran yang bersifat khusu. Sebab, lingkup ajarannya begitu luas dan bersifat universal, menyangkut berbagai aspek kehidupan. Jika keduanya dipandang sebagain ilmu yang bersumber dari wahyu, sedang ilmu umum berasal dari manusia.[24]

Dalam perspektif bangunan kurikulum, struktur keilmuan yang dikembangkan di UIN Maliki Malang menggunakan metafora sebuah pohon yang kokoh dan rindang. Sebagaimana layaknya sebuag pohon menjadi kukuh, berdiri tegak dan tidak mudah roboh dihempas angis jika memiliki akar yang kukuh dan menghunjam ke bumi. Pohon yang berakar kuat itu akan melahirkan batang yang kukuh pula. Batang yang kukuh akan melahirkan cabang dan ranting yang kuat serta dan dan buah yang sehat dan segar. Pohon dengan ciri-ciri itulah yang dijadikan perumpamaan ilmu yang dikembangkan di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.[25]
Agar lebih jelas, pohon yang digunakan sebagai metafora bangunan keilmuan UIN Maliki malang dapat digambarkan sebagai berikut:



           Adapun uraian makna dari pohon ilmu UIN Maliki Malang diatas adalah:
1.      Akar yang kukuh menghunjam ke bumi itu digunakan untuk menggambarkan kemampuan berbahasa asing (Arab dan Inggris), logika dan filsafat, ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Bahasa Asing yaitu Arab dan Inggris, harus dikuasai oleh setiap mahasiswa. Bahasa Arab digunakan sebagai piranti mendalami ilmu-ilmu yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis nabi serta kitab-kitab berbahasa Arab lainnya. Penggunaan bahasa Inggris dipandang penting sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi dan bahasa pergaulan internasional. Selanjutnya, pendalaman terhadap pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kemampuan logika/filsafat, ilmu alam dan ilmu social perlu dikuasai oleh setiap mahasiswa agar dijadikan bekal dan instrument dalam menganalisis dan memahami isi al-Qur’an, hadis maupun fenomena alam dan social yang dijadikan objek kajian-kajiannya. Jika hal tersebut dikuasai secara baik, maka mahasiswa akan dapat mengikuti kajian keilmuan selanjutnya secara mudah.
2.       Batang yang kukuh digunakan untuk menggambarkan ilmu-ilmu yang terkait dan bersumber lansung dari al-Qur’an dan hadis Nabi. Yaitu, studi al-Qur’an, studi hadis, pemikiran Islam, dan sirah Nabawiyah. Ilmu semacam ini hanya dapat dikaji dan dipahami secara baik oleh mereka yang telah memiliki kemahiran bahasa Arab, logika, ilmu alam dan ilmu sosial.
3.      Dahan dan ranting dari pohon yang kukuh dan rindang tersebut digunakan untuk menggambarkan disiplin ilmu modern yang dipilih oleh setiap mahasiwa. Disiplin ilmu ini bertujuan untuk mengembangkan aspek keahlian dan profesionalismenya. Disiplin ilmu modern itu misalnya: ilmu kedokteran, filsafat, psikologi, ekonomi, sosiologi, teknik serta cabang-cabang ilmu lainnya.[26]
Pohon selalu membutuhkan sari pati makanan yang diperoleh dari tanah, diserap oleh akar, dibawa melalui batang ke dahan, ranting dan daun. Oleh daun sari pati makanan itu diolah dengan bantuan sinar matahari yang disebut asimilasi. Hasil olahan sari pati makanan itu dikirim ke seluruh bagian pohon agar tetap hidup dan berkembang, dan selanjutnya berbuah. Begitu pula jika pohon itu digunakan sebagai metafora bangunan ilmu. Tanah dimana pohon itu tumbuh, digunakan untuk menggambarkan betapa pentingnya aspek kultural yang harus ada pada setiap upaya pendidikan, lebih-lebih pendidikan agama islam. Selanjutnya, akar yang menghujam ke bumi bertugas memperkokoh dan sekaligus mengambil sari pati makanan untuk menggambarkan ilmu alat sebagai syarat bagi siapa saja yang mau mendalami sumber ilmu ke-Islaman yaitu al-Qur’an dan hadis.[27]

D.    Relevansi Struktur Keilmuan Al-Ghazali dengan Konsep Pohon Ilmu UIN Maliki Malang.
Telah dijelaskan diatas struktur keilmuan menurut al-Ghazali dan konsep pohon ilmu Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Secara garis besar, al-Ghazali membagi ilmu berdasarkan hukum mencarinya menjadi fardh ‘ain dan fardh kifayah. Ilmu yang tegolong pertama (fardh ‘ain) berupa ilmu agama Islam berupa al-Qur’an dan hadis. Sedangkan ilmu yang tergolong jenis kedua (fardh kifayah) adalah ilmu yang dipandang penting dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, misalnya ilmu administrasi, ilmu kedokteran, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi, ilmu politik dan sebagainya.[28]
Sejalan dengan pandangan al-Ghazali terhadap pembagian ilmu berdasarkan hukum mencarinya itu, hukum fardh ‘ain dan fardh kifayah juga digunakan untuk memberikan arah siapa saja yang menyelesaikan program studi pada jenjang tertentu di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Dalam perspektif kurikulum, bangunan ilmu yang bersifat integratif- ilmu agama dan umum, digunakan metafora sebuah pohon yang tumbuh subur, lebat dan rindang. Masing-masing bagian pohon dan bahkan tanah dimana sebatang pohon itu tumbuh digunakan untuk menerangkan keseluruhan jenis ilmu pengetahuan yang harus dikaji oleh seseorang agar dianggap telah menyelesaikan program studinya.[29]
Penerapan hukum fardh ‘ain dan fardh kifayah tersebut adalah sebagaimana berikut:
1.      Fardh ‘ain, yaitu ilmu-ilmu yang berada pada akar yang menggambarkan ilmu-ilmu alat yang harus dikuasai oleh mahasiswa secara baik yaitu Bahasa-Bahasa Indonesia, Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, Filsafat,ilmu-ilmu alam, ilmu social dasar dan pancasila, dan yang berada pada bagian batang yang menggambarkan kajian sumber ilmu yang berasal dari kitab suci al-Qur’an hadis, pemikiran Islam dan masyarakat Islam. Semua mahasiswa, tanpa terkecuali jurusan apapun yang diambil, wajib mempelajarinya.
2.      Fardh kifayah, yaitu ilmu-ilmu yang berada pada ruang lingkup dahan, ranting dan daun. Artinya, setiap mahasiwa boleh mengambil secara berbeda antara yang satu dengan yang lain. Dan, jika seorang mahasiswa sudah mengambil satu jenis fakultas tidak berkewajiban untuk mengambil fakultas lainnya. Jenis ilmu yang digambarkan sebagai dahan tersebut misalnya  ilmu psikologi, ilmu ekonomi, ilmu hukum, ilmu teknik, ilmu MIPA yang akan menghasilkan buah. Buah itu dalam hal ini untuk menggambarkan produk dari bangunan ilmu yang bersifat integratif antara agama dan ilmu umum, yaitu iman, amal sholeh dan akhlak karimah.[30]    

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sosok ilmuan terkenal di dunia, itu al-Ghazali yang bernama Abu Hamid Muhammad ibnu Ahmad al-Ghazali Al-Thusi. Ia dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Ghazal, Thus, provinsi Khurasan, Republik Islam Iran. Dan wafat pada pada 14 Jumadil Akhir 505 H, bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1111 M. Jasadnya dikebumikan di sebelah timur benteng dekat Thabaran . Beliau telah Menghasilkan beberapa karya yang dikaji oleh banyak orang, diantara yang paling terkenal adalah ihya’ Ulumuddin.
Di dalam ihya ulumuddin, al-Ghazali membahasan banyak hal, diantaranya adalaha tentang ilmu. Al-Ghazali mengelaskan sturktur kelimuan dan telah membagi ilmu pengetahuan menjadi dua, yaitu ilmu syari’ah dan ilmu bukan syari’ah. Kemudian ilmu syari’ah tersebut terbagi menjadi dua yaitu ilmu syari’ah yang bersifat fardh ‘ain dan ilmu syari’ah yang bersifat fardh kifayah. Kemudian ilmu yang bukan syari’ah itu juga terbagi menjadi ilmu yang tepuji, ilmu yang tercela, dan ilmu yang dibolehkan, kemudian ilmu yang terpuji itu juga terbagi menjadi ilmu yang fardh kifayah dan ilmu utama yang boleh dilakukan.
  Secara garis besar, al-Ghazali membagi ilmu itu berdasarkan hukum mencarinya menjadi fardh ‘ain dan fardh kifayah. Ilmu yang tegolong pertama (fardh ‘ain) berupa ilmu agama Islam berupa al-Qur’an dan hadis. Sedangkan ilmu yang tergolong jenis kedua (fardh kifayah) adalah ilmu yang dipandang penting dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, misalnya ilmu administrasi, ilmu kedokteran, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi, ilmu politik dan sebagainya.
Selaras dengan itu, pengembangan keilmuan yang dilakukan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, yang terkonsep dalam pohon ilmu yang terdiri dari bagian-bagian keilmuan, yaitu akar berupa ilmu-ilmu alat dan batang berupa ilmu-ilmu sumber Islam, keduanya bersifat fardh ‘ain yang wajid bagi seluruh mahasiswa dari berbagai jurusan untuk mempelajarinya. Dan bagian dahan, ranting dan daun, yang bersifat fardh kifayah, artinya setiap mahasiwa boleh mengambil secara berbeda antara yang satu dengan yang lain. Dan, jika seorang mahasiswa sudah mengambil satu jenis fakultas tidak berkewajiban untuk mengambil fakultas lainnya. Jenis ilmu yang digambarkan sebagai dahan tersebut misalnya  ilmu psikologi, ilmu ekonomi, ilmu hukum, ilmu teknik, ilmu MIPA yang akan menghasilkan buah.
Jadi dapat disimpulkan bahwasannya ada relevansi antara strukur keilmuan persektil al-Ghazali dengan konsep pohon ilmu yang dikembangkan di Universitas Islam Negeri Maulana Malaik Ibrahim Malang yang bersifat integratif dan bertujuan untuk menghasilkan lulusan mahasiswa yang dipersonifikasikan sebagai ulama yang intelek professional dan intelek professional yang ulama.    


[1] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, terjemahan oleh Ismail Yakub,  (Semarang:C.V Faizan, 1979), hlm.12.
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Filsafat dan Filosofnya), (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada:2004), hlm. 155.
[3] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 87.
[4] Ibid, hlm. 87-88.
[5] Sirajuddin Zar, Op.Cit, hlm.158.
[6] Al-Ghazali, Op.Cit, hlm.25.
[7] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op.Cit, hlm.88.
[8] Ibid, hlm. 84.
[9] Ibid, hlm. 82.                                                       
[10] Ibid, hlm. 79.
[11] Mustofa Muhammad ‘Amaroh, Jawahirul Bukhori, (Surabaya:Al-Hidayah,  1271 H), hlm.10.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid, hlm.80.
[15] Ibid
[16] Ibid, hlm.81.
[17] Ibid, hlm.85
[18] Ibid, hlm.85-86.
[19] Ibid, hlm.86-87.
[20] Ibid, hlm. 84.
[21] Ibid.
[22] Ibid, hlm. 85.
[23] Ibid.
[24] Universitas Islam Negeri Malang, Tarbiyah Uli al-Albab:Dzikir, Fikr dan Amal Shaleh, (Malang: UIN Press, 2008), hlm.14.
[25] Ibid, hlm.15.
[26] Ibid, hlm.15-17.
[27] Imam Suprayogo, Paradigma Pengembangan Keilmuan di Perguruan tinggi (Konsep Pendidikan Tinggi yang    Dikembangkan Universitas Islam Negeri (UIN) Malang). Malang:UIN Press,2008), hlm.40-41.
[28] Ibid, hlm.34.
[29] Ibid, hlm.35.
[30] Ibid, hlm.37-38.

2 komentar:

  1. llmu itu sebagai cahaya kehidupan dan dapat mencapai cita cita serta mempermudah seseorang masuk sorga

    BalasHapus
  2. makasih postinganya, semoga berkah dan manfaat.

    BalasHapus